Risalah Kopi — 2: Bangkitnya Perempuan dalam Industri Kopi

Gracia Yolanda Putri
12 min readAug 8, 2023

--

Artikel ini merupakan hasil karya Tugas Akhir sebagai syarat kelulusan Fakultas Ilmu Komunikasi, Prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara, yang dipublikasikan pada Desember 2022.

Berbagai peran perempuan dalam industri kopi (Foto: Gracia Yolanda Putri).

Indonesia masih punya perjalanan panjang dalam usaha-usaha penyetaraan gender. Badan Program Pembangunan PBB (UNDP) mencatat indeks ketimpangan gender (GII) Indonesia sebesar 0,48 pada 2019, dengan nilai 0 berarti kondisi setara gender. Ini berarti Indonesia menempati peringkat 121 dari 162 negara yang terdaftar PBB. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia mendapat peringkat terakhir, dengan peringkat teratas dipegang oleh Singapura yang memiliki indeks 0,065.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat adanya peningkatan indeks pembangunan gender dan indeks pemberdayaan gender di Indonesia dari tahun ke tahun. Pada 2021, angka indeks pembangunan gender tercatat sebesar 91,27, dan angka indeks pemberdayaan gender sebesar 76,26, dengan nilai 100 berarti kondisi setara gender. Namun, pemberdayaan gender belum merata di seluruh Indonesia, serta percepatan pembangunan laki-laki masih lebih cepat daripada perempuan. Hal ini menandakan masih ada kesenjangan antar gender yang masih harus dibenahi Indonesia.

Misi menyetarakan gender penting untuk mendorong perekonomian sebuah negara. Lembaga riset internasional McKinsey Global Institute pada 2018 melaporkan bahwa Indonesia berpotensi meningkatkan Produksi Domestik Bruto (PDB) sebesar US$ 135 miliar pada 2025 apabila dapat mengatasi ketimpangan gender.

Dalam konteks pertanian, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) melaporkan bahwa kesetaraan akses sumber daya pertanian untuk semua gender dapat meningkatkan total produksi perkebunan di negara berkembang sebesar 2,5–4 persen, yang dapat berkontribusi mengurangi hingga 150 juta orang kelaparan di dunia.

Oleh karena itu, misi penyetaraan gender perlu dilakukan seluruh lapisan masyarakat, tak terkecuali industri kopi, agar dapat mengakses potensi tersembunyi dan dapat mengejar pendapatan yang optimal.

“Upaya-upaya untuk menghapus berbagai pandangan yang masih merugikan perempuan harus terus didengungkan, pembagian peran yang setara antara laki-laki dan perempuan bisa diimplementasikan, dimulai dari lingkup terkecil di masyarakat yakni keluarga kemudian lambat laun ke masyarakat secara luas,” ujar Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga dilansir dari halaman resmi Kementerian PPPA.

Rizkani Melati, Pendorong Perempuan Petani Berdaya di Aceh

Mengatasi fluktuasi harga ceri kopi, koperasi petani kopi menjadi kunci. Koperasi petani kopi merupakan kelompok petani kopi yang saling bekerja sama untuk meningkatkan sumber daya bersama, melalui pelatihan, akses terhadap layanan finansial sampai bantuan pemasaran agar mendapatkan peluang bisnis yang lebih besar.

Namun, kedudukan perempuan dalam koperasi petani kopi tak jarang diabaikan. Peneliti gender dan ekologi independen Elok Mulyoutami membagikan pengalaman observasinya pada masyarakat petani kopi Pagar Alam, Sumatera Selatan. Di sana, perempuan petani kurang mendapatkan tempat untuk berpendapat pada pertemuan koperasi petani kopi yang didominasi laki-laki.

“Ibu [perempuan] sih di dapur aja, buat apa sih?” cerita Elok pada Kamis (7/4/22). “Jadi, itu sangat kuat disebutkan dalam diskusi yang didengar semua orang. Buat kita kan jadi, oh sangat kental [budaya patriarki] itu di sana.”

Meskipun dibatasi hak untuk berpendapat di publik, Elok melihat beberapa perempuan terampil yang memiliki potensi untuk mendorong perempuan lainnya di Pagar Alam. Ketika mereka diundang kegiatan pembangunan kapasitas, para perempuan terampil ini dapat mengajar perempuan lain untuk bergabung dan memperluas akses ilmu.

“Kita menyebutnya ‘champion’, ibu-ibu yang kemudian sempat ikut pelatihan lalu memanfaatkan sekali kesempatan tersebut. Dia mengajak teman-temannya, lalu membuat kelompok perempuan, ada,” ujar Elok. “Tapi kan perempuan yang sevokal itu paling hanya satu di antara 1000, masih sedikit” lanjutnya.

Koperasi petani kopi khusus perempuan di Asia Tenggara mengalami pertambahan jumlah dalam satu dekade terakhir. Koperasi perempuan petani kopi dapat berperan dalam mendengarkan aspirasi para perempuan petani kopi, mengambil keputusan yang lebih menguntungkan untuk perempuan, meningkatkan perempuan kepada akses sumber daya pertanian, serta mengontrol kualitas biji kopi agar meningkatkan pendapatan para anggotanya.

Salah satu ‘champion’ yang mendirikan koperasi khusus perempuan petani kopi itu adalah Rizkani Melati, pendiri Koperasi Kopi Wanita Gayo (Kokowagayo) di Kabupaten Bener Meriah, Aceh, Sumatera Utara.

Berdiri 2014, Kokowagayo merupakan koperasi petani kopi khusus perempuan pertama di Asia Tenggara yang masuk organisasi petani kopi wanita internasional Organic Product Trading Company (OPTCO) Cafe Femenino yang berbasis di Amerika Selatan.

Beranggotakan 408 perempuan petani kopi, kini setiap tahunnya Kokowagayo dapat memproduksi sampai 450 ton kopi spesialti jenis Aceh Gayo, atau setara dengan 20 kontainer khusus untuk ekspor ke Amerika Serikat (70 persen), negara-negara Eropa (20 persen), dan Australia (10 persen).

Sebelum Kokowagayo berdiri, Rizkani melihat para perempuan petani di Bener Meriah kerap diabaikan dalam pertemuan koperasi. Perempuan petani susah berpendapat, dan tidak mendapatkan tawaran kegiatan pelatihan. Padahal, perempuan mencakup 80 persen pekerja perkebunan di Sumatera Utara. Berdasarkan ironi tersebut, Rizkani ingin menyediakan tempat aman dan nyaman bagi perempuan petani kopi untuk berpendapat, serta mendapatkan pelatihan, menjual kopi, dan menerima manfaat yang seharusnya menjadi hak para petani perempuan. Melihat potensi kopi Aceh Gayo yang digandrungi konsumen internasional, didirikanlah Kokowagayo.

Kultur patriarki dan norma adat yang mengakar di Aceh menjadi alasan mengapa perempuan petani kerap diabaikan pada pertemuan koperasi. Perempuan juga tak berani membantah.

“Kalau misalnya di depan ada mertua, atau abang kita, kita para perempuan memilih diam. Karena apa? Karena rasa hormat yang tinggi kepada mereka jadi kita sulit mengungkapkan perasaan. [Sama seperti] mengungkapkan isi hati dalam rapat tersebut [pertemuan koperasi],” jelas Rizkani pada Rabu (16/2/22).

Tantangan yang dialami Kokowagayo pada awal berdiri adalah pengimplementasian standar praktik pertanian yang baik (GAP) yang terdiri dari cara pembibitan, penanaman, peremajaan, bahkan sampai autentisitas sumber biji kopi yang dihasilkan. Kokowagayo juga mengajarkan prinsip-prinsip agroforestri kopi untuk pertanian berkelanjutan yang mampu bertahan melawan perubahan iklim.

Cara bertani yang berkelanjutan, aspek pemberdayaan perempuan, serta autentisitas sumber biji kopi menjadi daya tarik para investor berinvestasi kepada petani kopi lokal. Pasalnya, Indonesia memiliki rekor yang tak cukup baik perihal autentisitas sumber biji kopi. Laporan Women in Coffee oleh Lembaga Pengembangan Internasional Amerika Serikat (USAID) pada 2021 mencatat bahwa adanya beberapa pedagang dan petani kopi Indonesia yang sengaja melabel biji kopi konvensional menjadi biji kopi premium, atau beberapa jenis biji kopi yang dicampur dan dijual menjadi single origin untuk meraup keuntungan.

“Sekarang berkat ikut Kokowagayo, mereka [petani kopi perempuan] mendapatkan ilmu, bisa memangkas sendiri. Jadi mereka bisa tahu bagaimana caranya memproduksi kopi yang baik dan hasilnya juga banyak,” ujar Rizkani.

Kokowagayo menerima penghargaan peringkat kedua Koperasi Berprestasi tahun 2020 (Instagram/Kokowagayo).

Selain bertani, perempuan petani kopi juga diajarkan cupping, mengecap rasa kopi dari mulut dan hidung, agar dapat mengontrol kualitas kopi hasil panen sendiri. Mereka juga diajarkan pemrosesan kopi yang benar agar menghasilkan kopi panen yang berkualitas. Tak lupa, para perempuan juga diajarkan manajemen keuangan dan membuat laporan keuangan atas kegiatan mereka di kebun.

Rizkani memastikan perempuan petani anggota Kokowagayo diundang untuk kegiatan pembangunan kapasitas. Baginya, perempuan petani kopi yang pintar dan terampil dapat meningkatkan volume produksi kebun sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan rumah tangga keluarga mereka sendiri.

“Kalau dengan ilmu yang sudah mereka [petani kopi perempuan] dapatkan setelah bergabung dengan Kokowagayo berperan efektif, dengan begitu produksi terus meningkat, dan ada perubahan ekonomi untuk kehidupan rumah tangga mereka juga,” ujar Rizkani.

Pengambilan keputusan juga dilimpahkan kepada perempuan petani kopi. Sebelum rapat anggota tahunan, representatif Kokowagayo akan berkeliling ke lahan para anggota untuk mendampingi pengambilan keputusan penjualan hasil panen kopi mereka.

Selain mengayomi para perempuan petani dalam urusan pertanian kopi, Kokowagayo juga berupaya meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat Bener Meriah dengan mengadakan kelas gratis untuk keterampilan menjahit. Tak lupa juga Kokowagayo berusaha menanamkan rasa kepemilikan kopi Aceh Gayo kepada anak muda Bener Meriah dengan mulai mengajarkan cupping.

Rizkani sadar bahwa perempuan merupakan tokoh penting dalam pertanian kopi di seluruh dunia. Ia menekankan, jika tak ada perempuan, mungkin tak akan ada ekspor kopi Aceh Gayo ke luar negeri.

“[Sebanyak] 80 persen perempuan itu terlibat di kopi. Mereka juga harus mengatur rumah tangga, mengurus anak, mengurus suami. Jadi peran perempuan itu sangat penting lah di kopi. Mungkin kalau enggak ada perempuan, enggak ada ekspor kopi,” simpulnya.

Pemroses Kopi Novita Mutiara Jelita: Lebih dari ‘Dapur, Sumur, Kasur’

USAID mencatat bahwa mulai banyak perempuan di Asia Tenggara yang menjadi wirausahawan kopi generasi pertama, mengambil alih bisnis kopi keluarga dan mulai menjajaki industri kopi yang cenderung didominasi laki-laki. Di Indonesia, setidaknya sepertiga bisnis kopi perempuan yang dimiliki dan dipimpin perempuan mengalami 20 persen peningkatan pendapatan pada 2019.

Salah satunya adalah Novita Mutiara Jelita (26), yang mengambil alih bisnis keluarga sebagai pengelola kebun seluas sembilan hektar dan pemroses kopi di Gunung Gelap, Garut, Jawa Barat.

Novita Mutiara Jelita (26), petani pemroses ceri kopi di perkebunan kopi Gunung Gelap, Garut sedang mencuci ceri kopi hasil panen sebelum diproses secara natural/full washed/ honey (Instagram/Novita Mutiara Jelita).

Walaupun industri kopi mengalami peningkatan pesat dalam 5 tahun terakhir dengan tren ngopi pada anak muda, sumber daya manusia dalam pertanian kopi mulai susah memenuhi permintaan industri dengan jumlah konsumsi yang terus meningkat. Di sisi lain, prospek menjadi petani kurang diminati oleh generasi muda.

“Saya pikir anak muda menjadi petani kayaknya challenging [menantang] banget ya. Enggak banyak yang mau karena pekerjaan petani itu berat ya. Tapi [ilmu] teknik-teknik [pertanian] begitu mungkin anak muda lebih gampang menyerap, lebih mudah mengaplikasikan juga,” komentar peneliti gender dan ekologi Elok Mulyoutami.

Tak banyak perempuan muda sepantar Muti yang memutuskan untuk menjadi petani kopi. “Yang aku kenal mungkin 15 sampai 20 [orang] ada, tapi petani perempuan itu enggak sebanyak barista perempuan,” ujar Muti pada Selasa (8/2/22).

Meski familiar dengan kopi sedari kecil, Muti sendiri baru serius mengenal dan mempelajari kopi sejak 2015. Selama enam tahun mempelajari kopi, Muti sempat ikut kelas green grading, (mengukur kualitas biji kopi mentah) di Bandung, banyak baca buku soal berkebun, hingga bertanya ilmu ke sesama petani kopi dan tentunya terjun langsung ke kebun.

Sekarang, kebun kopi Muti dapat menghasilkan lima sampai enam ton ceri merah saat musim panen, dan diproses hingga bersisa satu sampai dua ton saja. Sekali musim panen dan pemrosesan, pendapatan Muti berkisar 50 sampai 100 juta, tergantung banyaknya ceri yang berhasil dipanen. Ceri yang diproses Muti biasanya dijual ke roastery lokal atau luar kota seperti Jakarta, Bandung, Lombok, hingga Riau.

Muti mengaku, kendala utama saat ia baru mulai menjadi petani pemroses adalah persepsi bahwa perempuan kurang dipercaya untuk bekerja di perkebunan. Masyarakat terbiasa melihat perempuan sebagai ibu rumah tangga daripada pemimpin kebun yang berwenang.

“’Kan biasanya kalau di Indonesia itu terkenal perempuan yang dapur sumur kasur, jadi ibu rumah tangga. Itu menjadi ‘cap’ untuk perempuan-perempuan di Indonesia dari zaman dahulu,” pendapat Muti.

Namun, Muti serba salah juga. Ketika isu gender yang semakin menjadi perhatian dunia internasional, sejumlah pihak pernah menyindir bahwa kopi hasil pemrosesan Muti hanya laku karena ia perempuan, bukan karena kualitasnya. Satu atau lain cara, sebagai perempuan petani pemroses kopi, Muti tidak bisa menjual kopinya dengan tentram.

“Kadang sebagai perempuan [petani pemroses], yang dinilai bukan kopinya. Malah, ‘wah, ini karena kamu perempuan jadinya [kopi] kamu laku. Kalau kamu bukan perempuan, enggak laku nih beans kamu ,’ padahal kan enggak gitu, tapi soal kualitas kopi,” cerita Muti.

Oleh karena itu, Muti terus berjuang meningkatkan kualitas kopinya selama lima tahun terakhir ia berbisnis. Meski tinggal di Jakarta, hampir setiap akhir pekan Muti rela menempuh jarak Jakarta-Garut untuk mengobservasi kebun kopinya dari dekat.

Dengan kerja keras mengoptimalkan kualitas ceri kopi lahannya, Muti membangun kepercayaan kepada pelanggannya. Alhasil, kini Muti sudah memiliki pelanggan roastery tetap yang menunggu kopi hasil pemrosesannya, bahkan menagih saat ia tidak memproses kopi.

Berbangga menjadi petani pemroses kopi, Muti tentu senang melihat menjamurnya budaya mengopi di Indonesia selama lima tahun terakhir. Mulai banyak perempuan yang terjun menjadi barista, dan mendominasi industri kopi di hilir. Kopi spesialti Indonesia juga semakin mendominasi pasar mancanegara. Muti berharap, masyarakat Indonesia bisa berbangga dengan kopi lokal.

Pentingnya Kompetisi Kopi, Sumber Insan Industri Kopi Berkualitas

Bekerja sampingan sebagai juri visual dan sensory untuk kompetisi kopi tingkat internasional, barista profesional Sylvia Feransia (32) menekankan pentingnya kompetisi kopi berstandar internasional untuk memajukan industri kopi secara keseluruhan.

“Kompetisi ini sebenarnya penting banget untuk memperkenalkan ke masyarakat luas tentang kopi-kopi Indonesia” ujar Sylvia Feransia pada Kamis (05/05/2020), di kedai kopi kawasan Serpong, Tangerang. “Kalau misalnya ada inovasi baru atau ada [kopi] yang kualitasnya bagus, kompetisi adalah saatnya untuk memperkenalkan produk tersebut,” lanjutnya.

Berkecimpung di industri kopi Indonesia selama hampir sepuluh tahun, Sylvia Feransia telah berpengalaman menjuri berbagai kompetisi kopi tingkat nasional baik dalam maupun luar negeri. Di dalam negeri, Sylvia sudah berpengalaman menjuri semua kategori kompetisi kopi kecuali Coffee in Good Spirits. Ia juga sudah pernah diundang menjuri kompetisi kopi tingkat nasional di Singapura, Vietnam, dan Cina sebagai juri internasional.

Dalam dunia elit profesional kopi spesialti, kompetisi kopi spesialti merupakan ajang ternama dan teratas. Kompetisi kopi spesialti di kancah internasional terdiri dari tujuh cabang, dan diselenggarakan oleh World Coffee Events (WCE) setiap tahunnya. Dalam kompetisi kopi, para peserta barista membawakan teknik, visual, rasa, serta biji kopi terbaik mereka untuk dipertandingkan dan dinilai oleh para juri. Di Indonesia, kompetisi kopi spesialti dinamai Indonesia Coffee Events, yang diselenggarakan oleh Asosiasi Kopi Spesial Indonesia (AKSI). Para pemenang di Indonesia Coffee Events (ICE) akan mendapatkan penghargaan dan dikirim menjadi perwakilan di WCE selanjutnya.

Selain menjadi perwakilan Indonesia di kancah internasional, menjadi pemenang kompetisi kopi spesialti membawa banyak keuntungan. Melalui eksposur, koneksi, serta pengalaman yang didapat, barista pemenang dapat meluncurkan karirnya dengan pesat melalui kompetisi kopi. Bertemu profesional-profesional baru, mendefinisikan self branding, dapat membawa pemenang kompetisi ke kesempatan-kesempatan kerja baru.

Dengan aturan berstandar internasional, kompetisi kopi berstandar internasional memastikan sumber daya manusia barista profesional terampil terus ada dan bergulir, serta bisa menjalin koneksi dengan pemain industri lainnya seperti investor, distributor kopi, roaster, hingga langsung ke petani kebunnya.

Namun sayangnya, peserta kompetisi kopi masih didominasi oleh laki-laki. Faktanya, sejak tahun pertama diadakannya World Barista Championship (WBC) pada 2000 hingga 2017, tidak ada pemenang perempuan. Pemenang WBC 2009 Gwilym Davies bahkan sempat memprotes ketidakseimbangan representasi gender dalam WCE pada sebuah gelar wicara di Dublin pada 2011.

Melansir The Guardian, Davies bilang bahwa representasi gender di kompetisi kopi saat itu tidak merefleksikan budaya kafe yang sebenarnya. “Menurutku, kurangnya perempuan yang mencapai babak final kompetisi kopi berdampak buruk pada kita semua sebagai industri kopi,” ujar Gwilym Davies pada 2011.

Pasalnya, perempuan barista kerap mengalami standar ganda dalam kompetisi kopi yang membuat mereka kapok untuk berpartisipasi lagi. Kriteria standar ganda seperti “sikap baik” atau “berpakaian sopan” menjadi batu sandungan bagi perempuan. Padahal, kompetisi seharusnya menilai kualitas minuman kopi yang dihasilkan.

Masalah standar ganda ini membuat jalan perempuan terhalang untuk menjadi pemenang kompetisi kopi, menghilangkan kesempatan perempuan untuk menerima keuntungan sebagai pemenang. Tak hanya itu, kurangnya representasi perempuan sampai ke babak final atau menjadi pemenang bisa membuat perempuan barista lain patah semangat bahkan sebelum mendaftar kompetisi. Alhasil, kurangnya representasi perempuan dalam kompetisi kopi menjadi efek menetes.

Di Indonesia sendiri, sumber daya manusia juri kompetisi kopi masih kurang, apalagi mengimpikan perempuan barista juri kompetisi kopi. Melihat pentingnya peran kompetisi kopi untuk menghasilkan barista terampil berarti dibutuhkan juri kompetisi yang berkualitas tinggi dan terkalibrasi. Jika tidak, barista peserta yang mengikuti lomba tidak bisa dinilai dengan optimal sesuai standar internasional.

“Jadi [kompetisi kopi lokal] butuh juri nih, mereka punya kenalan siapa ya udah tarik-tarik aja buat jadi juri. Padahal sebenarnya kan idealnya [barista] yang terkalibrasi dan yang mengerti,” cerita Sylvia.

Pasalnya, kompetisi kopi nasional Indonesia masih gemar menggunakan mekanisme penjurian throwdown daripada sistem skor objektif milik WCE. Sistem skor throwdown mengandalkan para juri untuk melakukan pengecapan buta terhadap kopi yang disediakan peserta dan ditunjuk langsung untuk maju ke babak selanjutnya tanpa penghitungan skor atau diskusi antar juri. Mekanisme ini memang membuat penjurian kompetisi kopi menjadi jauh lebih cepat. Namun, tanpa evaluasi skor dengan standar internasional, baik juri maupun barista peserta tak bisa mengevaluasi kekurangan atau kelebihan minum kopi yang dibuat.

Sylvia pun paham bahwa mengadakan kompetisi kopi nasional dengan standar lembar skor penjurian internasional WCE bukanlah hal yang mudah. Dibutuhkan panitia dan sukarelawan untuk membuat acara, serta butuh empat sampai delapan juri yang terkalibrasi dan mengerti aturan skoring untuk menilai satu barista saja. Komunitas industri kopi Indonesia telah melakukan yang terbaik untuk mengorganisasikan ICE untuk saat ini.

Kompetisi kopi yang konsisten mendatangkan kompetitor dengan standar yang lebih tinggi tiap tahunnya. Dengan ini, pastinya juri harus menyeimbangkan keterampilan dengan para kompetitor agar perlombaan dapat dinilai objektif. Jika siklus ini lancar, maka industri kopi seharusnya bisa semakin berkualitas.

“Aku berharapnya lomba-lomba kompetisi [kopi] dengan skala internasional ini semakin merambah, Jadi dengan adanya lomba-lomba dengan standar internasional ini, orang-orang jadi semakin mengerti kopi spesialti,” kata Sylvia.

--

--

Gracia Yolanda Putri
Gracia Yolanda Putri

Written by Gracia Yolanda Putri

Hi! I’m Gracia, a storyteller who loves to write about pop culture and entertainment topics. Stay tuned for more!

No responses yet